Tuesday, September 05, 2006

Tak Perlu Lagi Nenteng Disket/Flash Disk

Jaman berubah, teknologi semakin canggih. Dulu sebelum ada komputer kita menggunakan buku untuk mencatat hal-hal yang penting. Buku tersebut kita bawa kemana-mana sekiranya diperlukan untuk dibaca isinya.
Ketika komputer mulai kita kenal, data biasanya kita simpan dalam floopy disk atau disket yang ukurannya semakin kecil dengan kapasitas penyimpanan yang semakin membesar. Setelah itu kita kenal external harddisk sebagai media penyimpanan yang juga dapat kita tenteng-tenteng.
Kini sedang populer flash disk, yang bentuknya mungil mempunyai kapasitas penyimpanan dari 128 kbytes, 256 kbytes dst.
Sekarang tak perlu lagi kita menyimpan data dengan media tersebut. Kita dapat menaruh data atau files di tempat penyimpanan khusus di dunia maya yang dapat kita akses sepanjang kita terhubung dengan internet. Analoginya seperti kita mempunyai safety box di bank. Silakan berkunjung di http://box.net
Dengan mendaftar terlebih dahulu, anda akan mendapat kuota sebesar 1G yang dapat dipergunakan untuk menyimpan file yang kita anggap penting dan sewaktu-waktu kita perlukan.
Interesting to try. Absolutely Free.

Thursday, August 31, 2006

Jangan Sok Benar


Sumber foto: Buklet Monolog "Matinya toekang kritik"

Pak Voldi dan Pak Urip Penggemar Soto



Hari Kamis ini, secara tidak sengaja saya bertemu dengan dua rekan kita di Warung Soto Sibun. Mereka adalah Pak Revoldi dan Pak Urip Santoso. Yang disebut pertama mau mengikuti pertemuan Ikatan Akuntan Indonesia di Kampus STAN Purnawarman, sementara Pak Untung kelihatannya pelanggan tetap Warung Sibun.
Pak Voldi sekarang ini bekerja sebagai Widyaswara di Diklat BPKP di daerah Bogor.
Sejauh ingatan saya, pertemuan saya dengan Pak Urip di tempat ini bukan yang pertama. Beberapa tahun yang lalu saya sempat juga bertemu di tempat yang sama. Beliau sekarang ini bekerja di Pasarraya Sarinah.
Sayang karena waktu pertemuan yang pendek kita belum sempat banyak bertukar kabar. Sempat terjadi insiden kecil, ketika saya memanggil Pak Urip dengan Pak Untung.
Maklum ingatan orang yang sudah berumur over forty :-))
Keduanya sudah saya undang untuk bergabung dengan milis kita.
Apa moral cerita di balik pertemuan kami yang singkat tersebut ??
Kalau anda ingin bertemu dengan rekan kita alumni STAN, maka tempat yang tepat untuk maksud tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah: WARUNG SOTO SIBUN !!!

Salam,

arispria
pemburu alumni



Wednesday, April 26, 2006

Tragedi Malam Pertama (bag.1)

Oleh: Absar Jannatin (alumni STAN 83)

Penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusian dan prikeadilan. Demikian mukadimah konstitusi kita. Asal-usul munculnya pernyataan seperti ini tidak serta merta, karena dia berlandaskan pada pada kenyataan pahit yang telah dialami oleh bangsa kita berabad-abad yang silam. Bahwa tanah air kita yang tercinta ini, telah menjadi daerah koloni yang nyaman bagi bangsa-bangsa yang lain. Tercatat ada empat bangsa yang telah mencengkramkan kuku penjajahnya di tanah ibu pertiwi ini. Mulai dari bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan bangsa Jepang. Baru pada tahun 1945, bangsa kita bisa memprolakmirkan kemerdekaannya.

Dari literatur yang ada, istilah kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan. Pendukung dari kolonialisme berpendapat bahwa hukum kolonial menguntungkan negara yang dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk pemodernisasian dan demokrasi. Mereka menunjuk ke bekas koloni seperti AS, Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan Singapura sebagai contoh sukses pasca-kolonialisme. Peneori ketergantungan seperti Andre Gunder Frank, berpendapat bahwa kolonialisme sebenarnya menuju ke pemindahan kekayaan dari daerah yang dikolonisasi ke daerah pengkolonisasi, dan menghambat kesuksesan pengembangan ekonomi. Pengkritik post-kolonialisme seperti Franz Fanon berpendapat bahwa kolonialisme merusak politik, psikologi, dan moral negara terkolonisasi. Penulis dan politikus India Arundhati Roy berkata bahwa perdebatan antara pro dan kontra dari kolonialisme/imperialisme adalah seperti "mendebatkan pro dan kontra pemerkosaan".

Lalu pertanyaan yang muncul kemudian, apakah setelah tahun 1945 bangsa kita telah lepas dari belenggu penjajahan? Ternyata tidak semua dari rakyat Indenesia yang sepakat bahwa bangsa Indonesia benar-benar telah merdeka. Masih ada yang menyangsikannya dengan menunjukkan fakta-fakta yang ada dan merujuk pada teori neokolonialisme dan neoimperialisme. Kenyataannya penjajahan itu dalam perjalanannya telah berubah wujud. Penjajahan secara cermat melakukan inovasi dan improvisasi di sana-sini sehingga bisa diterima oleh bangsa-bangsa yang hendak dijajahnya. Jika teori ini benar, maka mungkin ada benarnya jika muncul pernyataan bahwa bangsa Indonesia dijajah oleh barat hingga akhir jaman nanti.

Tragedi Malam Pertama (bag.2 )

Boleh jadi karena terlalu lama dijajah oleh penjajah asing maupun oleh bangsa sendiri, kita sulit melepaskan diri dari budaya dan mental penjajahan. Yang kuat selalu ingin dan berlagak menjajah yang lemah. Sebaliknya yang lemah selalu menerima nasib diri untuk dijajah atau menjilat yang kuat. Yang tidak puas dan punya kekuatan tanggung akan mencoba melakukan perlawanan alias melakukan pemberontakan.

Maka dari dulu, bangsa kita khususnya dalam kaitan kekuasaan sepertinya hanya memiliki tiga karakter utama: karakter penjajah, karakter rakyat jajahan, dan karakter pemberontak. Mereka yang memiliki karakter penjajah biasanya segera dapat dilihat dari sikap serakah, arogansi, suka memaksa, dan sewenang-wenang. Sedangkan karakter rakyat yang terjajah, terlihat dari cirinya yang serba tidak berdaya; yang licik menjilat, yang pengecut cari muka. Sementara karakter pemberontak mencuat melalui perilaku emosional, nekat, dan membabibuta. Masing-masing karakter itu bisa ada pada siapa saja dalam kedudukan apa saja. Karakter penjajah, misalnya, tidak harus ada pada mereka yang berkuasa dalam pemerintahan; karena karakter itu pada hakikatnya muncul akibat ketidakmampuan melawan penjajahan dari nafsu berkuasa.

Sedikit kekuasaan yang ada, sudah cukup membuat yang bersangkutan berkelakuan penjajah. Lihatlah, misalnya, suami yang menjadi penjajah atas istri dan anak-anaknya; guru yang menjajah murid-muridnya atau pemuka agama yang sewenang-wenang terhadap pengikutnya; sopir angkutan umum yang merajalela di jalanan bak penguasa jalanan; pemimpin partai yang menjadi penjajah atas anggota-anggota partainya; para elit politik yang membohongi dan membodohi rakyat; massa yang memaksakan kehendak di jalanan, dsb.

Apapun argumennya, yang pasti penjajahan itu akan meninggalkan sejarah yang kelam. Penjajahan meninggalkan torehan luka yang dalam pada orang-orang atau bangsa yang dijajahnya.Termasuk juga Jepang salah satu bangsa yang pernah menjajah Indonesia pada periode tahun 1942-1945. Sejarah telah mencatat ketika masa itu rakyat begitu menderita karena harus ikut romusha alias kerja paksa. Sandang, pangan, dan obat-obatan sulit didapatkan. Makanan yang dikonsumsi sehari-hari berupa nasi tiwul dan nasi jagung tanpa lauk. Begitu pula dengan sandang, rakyat sangat sulit mendapatkan pakaian yang layak, sehingga banyak rakyat memakai pakain luar maupun dalam yang bahannya terbuat dari karung goni atau karung terigu bekas.

Tragedi Malam Pertama (bag.3 - habis)

Ini merupakan fakta sejarah, dan setiap orang yang hidup pada masa penjajahan Jepang itu telah merasakan bahwa penjajahan menyisakan cerita duka dan duka. Termasuk seorang pemuda yang tinggal di pelosok pedalaman kampung mengisahkan pengalaman pribadinya pada waktu itu yang tak mungkin terlupakan selamanya. Walau pada masa itu hidupnya begitu memprihatinkan, tapi bukan berarti keinginan untuk mempersunting pujaan hatinya harus dibaikan. Dengan persiapan yang serba kekurangan akhirnya pesta pernikahan dengan pujaan hatinya dapat terselenggara walau sangat sederhana.

Pesta hajatan yang dihadiri oleh kerabat terdekat telah usai, maka tibalah pada babak selanjutnya yaitu memasuki acara malam pertamanya sebagai pasangan suami-istri. Bahwa malam pertama adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh semua orang. Jikalah bisa dipinta, maka tentunya semua orang berharap malam pertama itu tidak pernah berakhirkan siang. Wajar saja jika pemuda itu dengan suka cita menyambut malam pertamanya. Harapannya malam itu akan dilaluinya dengan sempurna. Tapi apa lacur? Ada pepatah yang mengatakan mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pada malam pertama itu, telah terjadi tragedi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sejatinya malam itu akan dilalui bersama itri terkasihnya dengan kegembiraan yang sangat, tapi ternyata tiba-tiba istrinya sontak jatuh pingsang.

Pemuda yang lugu itu dengan wajah pucat pasi memandangi istrinya. Ada seribu satu pertanyaan yang menghampiri pikirannya. Ada gerangan apa yang menimpa istrinya itu. Padahal dia merasa belum melakukan apa-apa terhadap istrinya. Sambil merenung dan menerawang jauh untuk mencari tahu sebabnya, tiba-tiba dia menemukan jawabannya setelah memperhatikan CD under wear yang dikenakannya yang terbuat dari bekas karung terigu itu, tampak bagian depannya bertuliskan: Berat Netto 50 Kg.

Bertemu Tina Sihombing dan Wawan Tunjung

Beberapa saat yang lalu, ketika sedang berkunjung di sebuah kantor pemerintah yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto, saya secara tidak sengaja berpapasan dengan Tina Sihombing.
Ketika yang bersangkutan saya sapa, Si Tina keheranan. Mahluk darimana ini yang sok akrab, berani-beraninya menyapa saya. Mungkin demikian yang ada dalam pikiran Tina ketika itu.
Bahkan ketika ada kesempatan untuk menjelaskan kepada Tina bahwa saya adalah teman se-sekolah tinggi lebih dari 20 tahun yang lalu di Purnawarman, Si Tina masih berpikir keras untuk mengingat-ingat saya. Saya memaklumi diri bahwa saya kurang 'gaul' sewaktu kuliah dulu sehingga sulit bagi Tina untuk mengenali saya.

Untunglah tidak begitu lama, rekan kita angkatan STAN83 yang lain, Wawan Tunjung Guitajaya yang ganteng muncul from somewhere. Dari respon Wawan yang mengenali saya, mungkin Tina akhirnya menjadi yakin bahwa saya adalah betul alumni STAN angkatan 83. Bukan alien atau salesman yang sedang mengaku-aku teman dan berlaku sok akrab :-P
Kami sempat mengobrol sesaat saling bertukar kabar.
Wawan dan Tina beruntung karena mereka tidak hanya sekantor, tetapi bahkan meja kerja merekapun berdampingan. Sehingga mereka bisa bernostalgia setiap hari.
Terimakasih kepada Nokia 6230 yang memungkinkan saya bisa menghadirkan foto mereka dalam blog ini.

Salam,



arispria
pemburu alumni

Thursday, April 06, 2006

Reportase Pertemuan di Restoran Samudra


Akhirnya pertemuan akbar yang telah lama direncanakan terealisasi pada hari Rabu Malam di Resto 'all you can eat' Samudra Kuningan.
Tempat duduk sudah di reserve oleh tuan rumah sebanyak 10 orang.
Saya sebagai reporter blog, datang pukul 07.30.
Pak Toto via sms mempersila saya untuk langsung saja rebus-rebus sukiyaki, sambil menunggu Beliau menyelesaikan meeting. Saya jawab, "Nanti saja Pak, enakan rame-rame". Tak berselang lama Boss Absar muncul dengan membawa segepok proposal matang yang disimpan dalam pikirannya. :-)
Sambil menunggu Pak Toto, kita memainkan ponsel mencoba mengundang dan mengkonfirmasi kehadiran rekan-rekan yang lain.
Saya coba menghubungi Pak Uud (sebelumnya saya sudah ber-sms ria). Beliau mohon maaf tidak bisa hadir karena sedang 'gelisah' menunggu kepastian tempat kerja yang baru.
Kemudian saya mengkontak Pak Agung Krishartanto (sebelumnya saya juga sudah ber-sms). Pak Agung belum bisa memberikan jawaban pasti, karena masih dalam perjalanan ke rumah.
Pak Simon Silalahi, coba saya kontak. Beliau masih sibuk bekerja di kantor.
Alamak..... ternyata Pak Simon tidak tahu ada pertemuan tersebut karena belum menjadi anggota milis. Selama berkomunikasi dengan Pak Simon saya menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tetapi anehnya Pak Simon meresponnya dengan 'Boso Jowo' yang bener. ;-)
Setelah itu saya sms Pak Lubis. Beliau sedang mengikuti atau memberikan kuliah (?) di daerah Salemba. Pak Lubis mengusahakan akan hadir bila memungkinkan.
Perlu juga saya sampaikan. Sore hari sebelum keberangkatan ke Resto, saya sudah kontak Pak Bagus untuk mengkonfirmasi kedatangannya. Ternyata Beliau telah salingkontak dengan Pak Catur dan Pak Tri Agung. Dengan sangat menyesal Pak Bagus memberitahukan bahwa yang bersangkutan plus Pak Catur dan Pak Agung, kali ini tidak dapat hadir juga.
Sementara itu Pak Absar sibuk menghubungi Pak Pahala, Pak Yus Zazuli dan Pak Adi (Geng Citos) tapi ketiganya tidak mengangkat handphone mereka. Mungkin sedang 'night meeting'. Ketika menghubungi Pak Hesti. Kita baru tahu bahwa Pak Hesti sedang berada di Cengkareng pesawatnya sedang landing dan akan berusaha keras untuk bergabung.
Pada saat kita sedang sibuk kontak, Pak Toto datang.
Akhirnya acara dinner dimulai dengan diselingi presentasi proposal bisnis oleh Bos Absar. Mengingat proposal bisnis tersebut sangat penting dan sifatnya 'confidential', saya tidak mungkin melaporkan dalam reportase ini.
Sampai dengan acara berakhir, hanya kami 'the three musketeers' yang tetap tinggal di tempat sampai restorannya tutup.
Dengan sangat menyesal dan mohon mangap, kami bertiga akhirnya menikmati santap malam yang sejatinya untuk jatah sepuluh orang.
Jangan kawatir, acara kumpul bareng ini saya yakin bukan peristiwa terakhir.
Masih ditunggu kesediaan rekan milis yang lain untuk menjadi volunteer sebagai tuan rumah suatu saat nanti.

rgds,

arispria
reporter blog

Tuesday, April 04, 2006

Pak Bambang "Sabar" Irawan


Sebagaimana saya ceritakan dalam posting di Milis, saya bertemu dengan Pak Bambang Irawan dalam suatu acara kondangan.
Beliau baru saja sembuh dari mild stroke dan sekarang sedang menjalani terapi.
Beliau juga sedang menunggu kelahiran anak yang ke-4.
Sedangkan aktivitasnya sekarang adalah bergiat di Yayasan Lembaga Konsumen Muslim (YLKM) sebagai Ketuanya. Lembaga ini sedang berjuang menyadarkan masyarakat mengenai kehalalan makanan. Berikut saya kutipkan komentarnya yang dimuat di situs era muslim.

----------- dibusek -----------------------

"Hal serupa juga diungkapkan oleh Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Muslim (YLKM), Bambang Sabar Irawan. Di samping itu, menurut Bambang, perhatian pemerintah untuk memberikan penyadaran pada masyarakat soal makanan halal ini juga masih rendah. Ini bisa terlihat dari peraturan labelisasi halal yang sifatnya masih sukarela, belum menjadi kewajiban. "Hak asasi konsumen Muslim belum dihormati," katanya.

Bambang mengungkapkan, desakan agar labelisasi halal menjadi kewajiban bagi para produsen makanan dan minuman, sudah diajukan ke DPR sejak tahun 1994. Tapi tidak mendapat tanggapan."

---------------- dibusek -----------------------

Selamat berjuang Pak. Tetapi harap tetap "Sabar", sesuai sebutan yang melekat pada nama Bapak. :-)

Ade Sinaga di Lapangan Banteng


Beberapa waktu yang lalu saya bertemu Ade Sinaga di lapangan Banteng.
Saya minta yang bersangkutan berpose untuk dimasukkan gambarnya ke blog.
Pada awalnya si Ade bingung. Begitu ketemu kok tiba-tiba diminta berpose.

Tuesday, March 28, 2006

Kandidat Doktor Edwin Manansang

DUA PROFESI, BISA BERJALAN BERBARENGAN

Siapa tidak kenal dengan Edwin Manansang, salah satu personil Trio Libels dan seorang presenter di beberapa televisi swasta, ternyata bukan saja ahli dalam tarik suara tapi juga seorang pegawai negeri sipil di Itjen, Departemen Keuangan sebagai auditor.

Juara lomba vocal group di Stasiun Radio dan Televisi tahun 1980, menghantarkan Edwin, terjun ke dunia tarik suara. Kariernya di dunia tarik suara terus menanjak sampai ia berhasil mengeluarkan 8 album rekaman. Lagu yang menjadi favorit diantaranya adalah GADISKU dan AKU SUKA KAMU.

Di puncak kepopulerannya tahun 1987, ia pernah dua kali mewakili Indonesia dalam festival lagu Internasional di Tokyo. Lagu yang dibawakannya berjudul ”KEMBALIKAN BALIKU” karangan Guruh Soekarno Putra, dan berhasil mendapat sekaligus dua penghargaan. ”Saya bangga sekali karena tidak semua orang mendapat kesempatan seperti itu,” akunya.

Seiring dengan kariernya di dunia tarik suara, Edwin yang lulusan Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN) dan lulusan Universitas Illinois Amerika Serikat, tetap aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan saat ini ia diperbantukan di Kementrian Perekonomian.

Pria yang masih bujangan ini sudah mendekati usia 40 tahun. Namun demikian ia bersyukur sampai saat ini kedua profesi itu masih tetap berjalan, tetapi tidak seaktif waktu muda dulu. Selain sibuk di karier PNS ia juga menyempatkan diri untuk mengisi acara di salah satu televisi swasta setiap hari Sabtu dan Minggu.

Untuk menunjang kariernya sebagai PNS ia juga meningkatkan pendidikannyan dengan mengambil program Doktor spesifikasi Manajemen Keuangan di Universitas Indonesia.

(Sumber "Media Keuangan")

Thursday, March 23, 2006

Intelijen Pajak (bagian pertama)

Saatnya Dibentuk Intelijen Pajak
Oleh: Pahala Nainggolan

"Bagi aparat pajak, pemenuhan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun terasa semakin berat. Ketika RUU Pajak dinyatakan akan diusahakan business friendly, yang terjadi adalah permintaan insentif pajak dari berbagai kalangan usaha lengkap dengan berbagai argumentasinya menguat.. "

Belum lagi 'serangan' atas pasal-pasal yang dirasa otoriter, padahal pasal tersebut sudah ada sejak dahulu. Pada sisi lain, target penerimaan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Sementara itu, berbagai mass media rajin mengumandangkan keluhan kinerja aparat pajak.

Di balik keluhan para pengusaha taat pajak, berlindung para pengusaha hitam. Mereka menyanyikan koor serempak ketika menghujat kinerja aparat. Masih lagi ditambah dengan komentar para pengamat. Dengan kasus terakhir, restitusi pajak fiktif, lengkap sudah citra negatif dari aparat pajak. Citra terbangun adalah institusi yang korup.

Pada awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Ditjen Pajak, titipannya sungguh luar biasa. Tax ratio ditargetkan 19% untuk 5 tahun ke depan, padahal kini masih 13%. Sungguh tugas yang luar biasa berat.

Penerimaan yang lebih tinggi mensyaratkan perluasan wajib pajak. Secara massal diupayakan jumlah WP ber-NPWP meningkat, begitu juga pelaporannya. Reformasi pajak 2000 mewajibkan WP pribadi dengan penghasilan dari satu sumber memiliki NPWP dan melaporkan penghasilannya. Usaha ini memang meningkatkan jumlah wajib pajak yang ber-NPWP. Namun, apakah juga meningkatkan penerimaan pajak?

WP berpenghasilan dari satu sumber pajak penghasilannya sudah dipotong oleh pemberi kerja. Kepemilikan NPWP dan pelaporan SPT tidak meningkatkan penerimaan pajak negara. Jumlah pajak penghasilannya yang sudah dipotong sama besar dengan yang akan dilaporkan dalam SPT pribadinya.

Dampak dari kebijakan ini malah negatif. Beban administrasi pengelolaan laporan meningkat, karena tambahan NPWP baru dan penerimaan SPT. Bisa dibayangkan ketika suatu perusahaan memiliki 1.000 pegawai tetap yang memiliki penghasilan di atas PTKP, maka akan muncul 1.000 SPT perorangan plus SPT Perusahaan. Tanpa ada tambahan penerimaan negara.

Dampak berikutnya adalah semakin menurunnya wibawa peraturan pajak. Enforcement hampir tidak dilakukan. Daftar nama penerima penghasilan di SPT PPh Pasal 21 Badan, tidak ditindaklanjuti. Seharusnya nama-nama yang tercantum di sana 'dikejar' dan dianalisa apakah yang bersangkutan memiliki NPWP dan bila ya, apakah SPT nya sesuai dengan penghasilan dari data tersebut.

NPWP yang dikirimPendekatan massal berikutnya adalah menggapai 10 juta pemegang NPWP pada 2005. Target memang tercapai. Beberapa catatan tersisa. Pertama, upaya ini adalah implementasi dari otoritas pemberian NPWP secara jabatan. Artinya NPWP merupakan produk hukum yang mengikat wajib pajak. Sayangnya aparat pajak tidak PD (percaya diri) dengan datanya.

Di akhir surat pengantar pemberian NPWP disebutkan bila sudah memiliki NPWP silakan komplain. Klausul ini merendahkan wibawa aparat sendiri. Bagaimana tidak, mereka tidak yakin dengan produk hukum yang dikeluarkan sendiri.

Kedua, dengan jumlah pemegang NPWP yang naik drastis, tentu perlu dikaji apakah peningkatan beban administrasi setara dengan peningkatan penerimaan pajak dari mereka yang ber-NPWP baru? Kemungkinan besar mereka adalah wajib pajak berpenghasilan tunggal yang belum patuh sewaktu aturan tahun 2000 dikeluarkan karena memang tidak ada penegakan hukum. Bila benar, tentu tidak ada peningkatan penerimaan pajak.

Kemungkinan lain, terjaringnya mereka yang tadinya belum pernah melaporkan dan membayar pajak. Ketika mereka ber-NPWP maka diharapkan akan terjadi penerimaan pajak tambahan. Namun sulit dibayangkan mereka tiba-tiba akan patuh dan melaporkan seluruh penghasilannya. Mereka tentu akan menguji aparat dengan pembayaran yang jauh dibawah sebenarnya. Sehingga perlu dilanjutkan dengan enforcement peraturannya.

Intelijen Pajak (bagian kedua)

Intelijen perpajakan

Upaya-upaya yang mengambil pendekatan massal patut ditinjau efektifitasnya. Ketika wajib pajak patuh dan menyampaikan SPT, maka terjadi tambahan beban administrasi. Padahal belum tentu peningkatan penerimaan terjadi. Untuk itu pendekatan spesifik patut dipertimbangkan dengan menggunakan intelijen perpajakan.

Intelijen sebagaimana artinya adalah upaya pengumpulan informasi. Dengan demikian intelijen pajak dimaksudkan sebagai serangkaian upaya sistematis untuk mengumpulkan informasi mengenai WP baik yang sudah ber-NPWP atau belum. Informasi yang diperoleh akan disajikan kepada unit organisasi pajak lainnya untuk digunakan sebagai bahan baku analisa kewajaran pemenuhan kewajiban.

Dengan informasi yang didapat, pemberian NPWP akan selektif. Mereka yang diberikan NPWP secara jabatan sudah seharusnya membayar pajak dan belum dipotong pajaknya oleh pemberi kerja. Dua hal yang dapat dicapai sekaligus. Penerimaan pajak yang meningkat serta beban administrasi yang naik sebanding dengan kenaikan penerimaan.

Informasi intelijen pajak juga memberikan perkiraan berapa besar penghasilan dari wajib pajak. Dengan demikian ketika yang bersangkutan menyampaikan SPT, tinggal dilakukan uji kewajaran atas besaran yang dilaporkan. Ketika berbeda signfikan, maka perbedaan ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk dilakukannya pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan pajak dengan demikian bukan lagi dipandang sebagai upaya aparat untuk mencari-cari kesalahan WP.

Dengan informasi dasar pemeriksaan akan dilakukan secara selektif. Diharapkan citra pemeriksaan pajak akan meningkat karena WP akan memandang pemeriksaan pajak bukan sekedar penggunaan otoritas dari aparat saja.

Intelijen pajak juga akan meningkatkan rasa takut bagi WP yang tidak taat. Mereka tidak dapat menduga kapan pemeriksaan akan dilakukan. Yang jelas, setiap pemeriksaan aparat pasti memiliki informasi tandingan mengenai besaran penghasilannya. Para WP potensial dan WP tidak patuh akan merasa tidak nyaman. Intelijen pajak bekerja memata-matai serta mencari data sekunder tentang penghasilan nyata mereka sepanjang tahun. Mereka menggali data bahkan kalau perlu membeli dari berbagai sumber.

Intelijen Pajak (bagian tiga - terakhir)

Operasionalisasi intelijen pajak patut mempertimbangkan dua hal berikut.

Pertama, kelembagaan intelijen pajak idealnya diletakkan pada struktur yang cukup tinggi. Dengan tingkat eselon yang cukup, maka koordinasi dengan eselon dua lainnya dapat dilakukan dengan lebih mudah. Bila IRS di Amerika memiliki intelijen pajak setingkat divisi, maka sudah selayaknya dikembangkan Direktorat Intelijen Pajak dikepalai seorang direktur.

Unit ini beroperasi dengan personil yang ditempatkan hingga di tingkat KPP. Namun intel pajak bertanggungjawab langsung ke direktur intelijen . Untuk memudahkan akses serta analisa informasi. Sentralisasi pengolahan dan analisa informasi perpajakan ini akan meningkatkan kecepatan serta efisiensi kerja.

Kedua, kebijakan dalam bentuk peraturan hukum juga perlu dipersiapkan agar menjadi payung hukum yang cukup kuat bagi unit ini. Kode etik, teknis intelijen , tata kerja dan hubungan dengan instansi lain perlu diatur dalam bentuk produk hukum yang memadai. Landasan hukum ini untuk menghindari tindakan penuntutan dari WP atas bocornya data tentang yang bersangkutan. Tata kerja intelijen pajak tentu menganut pola kerja yang sama dengan institusi intelijen lainnya.

Ketiga, informasi perpajakan dapat diolah menjadi pengetahuan (knowledge) bagi setiap aparat pajak. Pelbagai kasus penggelapan dan modus operandinya dapat didokumentasikan menjadi bahan pembelajaran dalam menghadapi WP dengan karakteristik yang sama.

Dengan demikian pendekatan spesifik dapat menghasilkan keuntungan antara lain penerimaan pajak meningkat dengan beban administrasi yang sebanding. Selain itu, citra aparat pajak akan meningkat karena profesionalisme yang bertambah. Aparat pajak secara teknis paham tentang bagaimana WP 'bermain' di lapangan.

Disamping itu, ketika memutuskan perlunya pemeriksaan lapangan, aparat sudah memiliki informasi mengenai besaran penghasilan WP. Sehingga tidak terkesan pemeriksaan sebagai upaya mencari kesalahan WP agar membayar pajak lebih.

Oleh Pahala Nainggolan
Mahasiswa Program S 3 Ilmu Manajemen FE-Universitas Indonesia

Thursday, February 23, 2006

Pahala Nainggolan dan PNS

Berikut diunduhkan artikel rekan Pahala Nainggolan yang dimuat di harian Jakarta Post bulan Februari 2006. Beliau adalah kandidat doktor dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesi.

Stop hiring civil servants, just improve existing ones

Pahala Nainggolan, Jakarta

Recruitment of new civil servants (PNS) has always been a big event. People still clamor to get on board even though they know that the salary and benefits of civil servants are substandard.

With more than three million employees, the government is the biggest employer nationwide in terms of number of staff and job complexity. People love to work as civil servants since the opportunities to generate "extra income" are available. Many of them show that. Theoretically, their salaries are not enough to cover their daily expenses such as food, shelter, education and transportation, but in reality that is by no means the case.

The bureaucracy is supposed to work efficiently to support the administration, whose main duties are serving the public and making policies. In fact, however civil servants tend to be served rather than to serve. Dealing with them takes time, energy and money, regardless of the fact that we pay taxes for their salaries.

Efforts to reform the bureaucracy have not worked well, due to some chronic problems.

First, low pay is always blamed for rampant corruption in the bureaucracy. Corrupt practices involve not only one or two persons, but often the whole institution. They range from cutting work hours to abuse of power. Some fake business trips are made, kick-backs from vendors are sought to collect so-called tactical funds, which are then divided up.

A government office head must fight for projects, which mean new sources of income. There are few guilty feelings in doing so because it is aimed at improving everybody's welfare. And so, the public has simply become accustomed to sub-par public services. Before 1998, bribes greased or sped up public services. Now, however, bribes are the primary fuel for the machine; it is the only way to service.

Second, budget allocations for public services tend to increase. People care about how much money is spent on public services compared to how much is spent on paying civil servant expenses. It applies to both state and regional budgets. The facts show that most local administrations spent over 80 percent of the budget to finance their bureaucracy. In the future, raising the budget will be harder, while improving civil servants' welfare is a must.

Third, the size of a bureaucracy is a paradox. On one hand, the number of civil servants is considered too much, but on the other hand poor public services have been constantly blamed on the lack of personnel. In fact, we can see state employees just fooling around during work hours or moonlighting.

Administrative reform is always met with problems such as budget availability and the no lay-off tradition. Therefore, we need to consider many aspects simultaneously.

First, the government could avoid budgetary constraints in raising civil servants' salary levels by introducing a totally different remuneration policy. The existing uniform system causes civil servants who work in areas with high costs of living to feel poorer than their counterparts in small towns. The salary scale must be indexed based on areas of assignment. This means civil servants who work in big cities like Jakarta deserve higher pay.

A functional index is also worth introducing, in which salary levels are determined by functions. Civil servants whose jobs are vulnerable to corruption, such as tax auditors and policy makers, must be paid higher than the rest. This is expected to reduce the temptation to embezzle or demand bribes.

Second, improving civil servants' welfare is not limited to salary increases. If benefits are generous, a low salary is not a problem. Benefits should make them feel secure so there is no uncertainty about their family's future. Among the benefits are support for their children's education, housing, transportation and health, which are considered more valuable than salary increases.

They will not worry about the salary if they can send their kids up to universities for free, or if they or their family members get sick since adequate health services would be provided for them. Housing and transportation from home to office would also be greatly appreciated. Lower living expenses create more saving. The cost to provide these benefits is less than annual salary increases.

Improvement of welfare should also cover retirement periods. High-ranking officials are aware of a yawning gap between facilities and perks they receive while in office and what they get after retiring. Retirees only get up to 75 percent of their basic salary, plus minimum medical coverage. No other allowances are available after retirement, while daily expenses may go up if not the same. Following this logic, a high-ranking government employee will try to save as much as possible to avoid problems when he/she is retired.

Third, key indicators and targets for each government institution should be renewed and announced every year. The public will know and appraise the performance of civil servants in serving them. Those targets and indicators then are defined into more details up to individual job description. Currently, civil servants do not have individual job descriptions, making it difficult to assess their performance. A stick and carrot policy cannot work in the absence of the target and indicators.

By knowing institutional duties and targets, the public will be able to direct their complaints to the right place. Another impact is that every project would have to be designed directly to meet public needs, rather than wasting state funds and claiming to have served the public. Knowing the projects they handle, the public will assess the government employees based on the real benefits of the projects for them.

Taking those steps simultaneously will hopefully result in a better image of civil servants. At the end, we will see whether we need more civil servants or probably all that we need is to revitalize the bureaucracy. It means a major overhaul in government institutions should take place.

The writer is a former state auditor who is pursuing a doctorate degree in management science at the School of Economics, University of Indonesia. He can be reached at pahala@tifafoundation.org.

Friday, January 13, 2006

Parade Foto Reuni: Single Fighter


Sri Windiarti


Sustiana NH


Suwartini


Aswinda


Murni Hercahyani


Nia Kurniasih

Parade Foto Reuni: Single Fighter


Sri Madihastuti


Nurbaya Lumban Gaol


Rosdiana


Susih 'Ncuz' Sutyawati


Nurhayati


Veranica Nurhayatun


Hadiyani

Thursday, January 12, 2006

Pertemuan di warung soto Sibun


Awalnya Pak Hesthi, Pak Absar dan Pak Toto Pwc janjian lewat milis untuk 'kopdar' di warteg Purnawarman. Hari dan waktu sudah disepakati, Rabu pukul 11.00.
Menjelang pukul 'P' sesuai janji, Pak Absar posting di Milis memberitahukan bahwa Hesti berhalangan, makan siang dibatalkan. Padahal pada saat proses 'dating', ada beberapa anggota milis yang memonitor dan berniat juga untuk bergabung. Mereka bahkan sudah mulai meluncur ke lokasi.
The show must go on. Terpaksa alat komunikasi handphone dimainkan, dating dihidupkan kembali.
Makan siang akhirnya terlaksana di warung soto Sibun plus minum es kelapa Pak Min.
Inilah para hadirin itu, saksikan fotonya. Bandingkan wajah mereka 20 tahun yang lalu.
Duduk paling kiri, berwibawa, adalah Bapak Absar Jannatin yang langsung meluncur dari rumah merangkap kantor, atawa SOHO, begitu tahu bahwa acara makan siang hidup lagi.
Duduk di tengah adalah Pak (belum Propesor) Bagus Tjahjanto. Beliau bekerja di Asian Development Bank Jakarta. Pak Bagus tampaknya suka berpikir keras, hingga rambutnya rontok, tipikal seorang propesor.
Duduk paling kanan adalah Pak Tri Agung Hudiyono, beliau 'masih' bekerja di BPKP.
Pak Bambang Irawan, sebetulnya bermaksud hadir juga tapi berhalangan.
Makan sambil ngobrol 'produktif' ditutup pukul 13.00, dengan harapan pertemuan selanjutnya akan diadakan lagi. Pak Hesthi or Pak Toto Pwc diharapkan berkenan jadi host dengan peserta yang jauh lebih banyak. :-)



rgds,
arispria (reporter milis)

Wednesday, January 11, 2006

Parade Foto Reuni: Stan83 Singers



Edwin sedang berduet dengan Ricky Tupanwael.



Diki in action,...



Ricky on stage :-)