Thursday, March 23, 2006

Intelijen Pajak (bagian pertama)

Saatnya Dibentuk Intelijen Pajak
Oleh: Pahala Nainggolan

"Bagi aparat pajak, pemenuhan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun terasa semakin berat. Ketika RUU Pajak dinyatakan akan diusahakan business friendly, yang terjadi adalah permintaan insentif pajak dari berbagai kalangan usaha lengkap dengan berbagai argumentasinya menguat.. "

Belum lagi 'serangan' atas pasal-pasal yang dirasa otoriter, padahal pasal tersebut sudah ada sejak dahulu. Pada sisi lain, target penerimaan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Sementara itu, berbagai mass media rajin mengumandangkan keluhan kinerja aparat pajak.

Di balik keluhan para pengusaha taat pajak, berlindung para pengusaha hitam. Mereka menyanyikan koor serempak ketika menghujat kinerja aparat. Masih lagi ditambah dengan komentar para pengamat. Dengan kasus terakhir, restitusi pajak fiktif, lengkap sudah citra negatif dari aparat pajak. Citra terbangun adalah institusi yang korup.

Pada awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Ditjen Pajak, titipannya sungguh luar biasa. Tax ratio ditargetkan 19% untuk 5 tahun ke depan, padahal kini masih 13%. Sungguh tugas yang luar biasa berat.

Penerimaan yang lebih tinggi mensyaratkan perluasan wajib pajak. Secara massal diupayakan jumlah WP ber-NPWP meningkat, begitu juga pelaporannya. Reformasi pajak 2000 mewajibkan WP pribadi dengan penghasilan dari satu sumber memiliki NPWP dan melaporkan penghasilannya. Usaha ini memang meningkatkan jumlah wajib pajak yang ber-NPWP. Namun, apakah juga meningkatkan penerimaan pajak?

WP berpenghasilan dari satu sumber pajak penghasilannya sudah dipotong oleh pemberi kerja. Kepemilikan NPWP dan pelaporan SPT tidak meningkatkan penerimaan pajak negara. Jumlah pajak penghasilannya yang sudah dipotong sama besar dengan yang akan dilaporkan dalam SPT pribadinya.

Dampak dari kebijakan ini malah negatif. Beban administrasi pengelolaan laporan meningkat, karena tambahan NPWP baru dan penerimaan SPT. Bisa dibayangkan ketika suatu perusahaan memiliki 1.000 pegawai tetap yang memiliki penghasilan di atas PTKP, maka akan muncul 1.000 SPT perorangan plus SPT Perusahaan. Tanpa ada tambahan penerimaan negara.

Dampak berikutnya adalah semakin menurunnya wibawa peraturan pajak. Enforcement hampir tidak dilakukan. Daftar nama penerima penghasilan di SPT PPh Pasal 21 Badan, tidak ditindaklanjuti. Seharusnya nama-nama yang tercantum di sana 'dikejar' dan dianalisa apakah yang bersangkutan memiliki NPWP dan bila ya, apakah SPT nya sesuai dengan penghasilan dari data tersebut.

NPWP yang dikirimPendekatan massal berikutnya adalah menggapai 10 juta pemegang NPWP pada 2005. Target memang tercapai. Beberapa catatan tersisa. Pertama, upaya ini adalah implementasi dari otoritas pemberian NPWP secara jabatan. Artinya NPWP merupakan produk hukum yang mengikat wajib pajak. Sayangnya aparat pajak tidak PD (percaya diri) dengan datanya.

Di akhir surat pengantar pemberian NPWP disebutkan bila sudah memiliki NPWP silakan komplain. Klausul ini merendahkan wibawa aparat sendiri. Bagaimana tidak, mereka tidak yakin dengan produk hukum yang dikeluarkan sendiri.

Kedua, dengan jumlah pemegang NPWP yang naik drastis, tentu perlu dikaji apakah peningkatan beban administrasi setara dengan peningkatan penerimaan pajak dari mereka yang ber-NPWP baru? Kemungkinan besar mereka adalah wajib pajak berpenghasilan tunggal yang belum patuh sewaktu aturan tahun 2000 dikeluarkan karena memang tidak ada penegakan hukum. Bila benar, tentu tidak ada peningkatan penerimaan pajak.

Kemungkinan lain, terjaringnya mereka yang tadinya belum pernah melaporkan dan membayar pajak. Ketika mereka ber-NPWP maka diharapkan akan terjadi penerimaan pajak tambahan. Namun sulit dibayangkan mereka tiba-tiba akan patuh dan melaporkan seluruh penghasilannya. Mereka tentu akan menguji aparat dengan pembayaran yang jauh dibawah sebenarnya. Sehingga perlu dilanjutkan dengan enforcement peraturannya.

No comments: