Wednesday, April 26, 2006

Tragedi Malam Pertama (bag.2 )

Boleh jadi karena terlalu lama dijajah oleh penjajah asing maupun oleh bangsa sendiri, kita sulit melepaskan diri dari budaya dan mental penjajahan. Yang kuat selalu ingin dan berlagak menjajah yang lemah. Sebaliknya yang lemah selalu menerima nasib diri untuk dijajah atau menjilat yang kuat. Yang tidak puas dan punya kekuatan tanggung akan mencoba melakukan perlawanan alias melakukan pemberontakan.

Maka dari dulu, bangsa kita khususnya dalam kaitan kekuasaan sepertinya hanya memiliki tiga karakter utama: karakter penjajah, karakter rakyat jajahan, dan karakter pemberontak. Mereka yang memiliki karakter penjajah biasanya segera dapat dilihat dari sikap serakah, arogansi, suka memaksa, dan sewenang-wenang. Sedangkan karakter rakyat yang terjajah, terlihat dari cirinya yang serba tidak berdaya; yang licik menjilat, yang pengecut cari muka. Sementara karakter pemberontak mencuat melalui perilaku emosional, nekat, dan membabibuta. Masing-masing karakter itu bisa ada pada siapa saja dalam kedudukan apa saja. Karakter penjajah, misalnya, tidak harus ada pada mereka yang berkuasa dalam pemerintahan; karena karakter itu pada hakikatnya muncul akibat ketidakmampuan melawan penjajahan dari nafsu berkuasa.

Sedikit kekuasaan yang ada, sudah cukup membuat yang bersangkutan berkelakuan penjajah. Lihatlah, misalnya, suami yang menjadi penjajah atas istri dan anak-anaknya; guru yang menjajah murid-muridnya atau pemuka agama yang sewenang-wenang terhadap pengikutnya; sopir angkutan umum yang merajalela di jalanan bak penguasa jalanan; pemimpin partai yang menjadi penjajah atas anggota-anggota partainya; para elit politik yang membohongi dan membodohi rakyat; massa yang memaksakan kehendak di jalanan, dsb.

Apapun argumennya, yang pasti penjajahan itu akan meninggalkan sejarah yang kelam. Penjajahan meninggalkan torehan luka yang dalam pada orang-orang atau bangsa yang dijajahnya.Termasuk juga Jepang salah satu bangsa yang pernah menjajah Indonesia pada periode tahun 1942-1945. Sejarah telah mencatat ketika masa itu rakyat begitu menderita karena harus ikut romusha alias kerja paksa. Sandang, pangan, dan obat-obatan sulit didapatkan. Makanan yang dikonsumsi sehari-hari berupa nasi tiwul dan nasi jagung tanpa lauk. Begitu pula dengan sandang, rakyat sangat sulit mendapatkan pakaian yang layak, sehingga banyak rakyat memakai pakain luar maupun dalam yang bahannya terbuat dari karung goni atau karung terigu bekas.

1 comment:

Anonymous said...

membaca judulnya saya mulanya membayangkan adegan novel jadul gak senonoh karya 'nick carter' atau 'velantino'. apalagi dibuat tiga seri luar biasa cerita malam pertama ini. pasti ini cerita tentang tragedi sebuah perjuangan berat menitiskan titik darah yang pertama dari sang shinta. tapi apa lacur.. prolognya dimulai dengan zaman penjajahan yang gak jelas apa hubungannya dengan tragedi malam pertama. yang jelas kalau periode perjuangan melawan 'londo' sontoloyo ini, orang-orang jadul suka pake istilah 'berjuang sampai titik darah penghabisan' padahal kalau bicara tragedi malam pertam jelas beda ... titik darah yang pertama.

Seri kedua masih juga cerita angkara murkan kaum mental penjajah.. tetapi yang saya suka ada definis tentang sikap mental yang timbul manusia-manusia hasil penjajahan yang kayaknya sampai sekarang masih tampak berkeliaran di gedung parlemen, kantor-kantor pemerintahan, swasta dan pasar atau jalan raya.. namun barangkali perlu ditambah selain ketiga karakter ada juga karakter ke empat, kelima atau ke enam yang merupakan percampuran dari karakter-karakter yang telah dijelaskan oleh om Absar...

di sesi ketiga .. nah ini jadi inti cerita dan judul artikel ini. agak aneh juga bahwa prolognya sendiri hampir memakan 2/3 sedangkan inti cerita yang sesuai judul hanya 1/3 saja atau barangkali judulnya yang keliru, misalnya penjajahan dan tragedi malam pertama... celakanya diakhir cerita sang pengantin pingsan karena melihat tulisan 50kg di CD sang gacoannya... agak gak mudeng saya ... apa hubungan antara penjajahan dengan karung terigu dengan tulisan 50kg. barangkali om bisa lebih memperjelas hal ini karena setahu saya yang terkenal itu karung goni... bukan karung terigu.. dan pingsannya karena karung terigu atau tulisan berat netto 50kg yang bikin kaget... kayak tahu aja kalau beratnya 50kg itu pun lagi tidur... coba kalau udah bangun.... pasti beratnya tambah dong... om