Tuesday, March 28, 2006

Kandidat Doktor Edwin Manansang

DUA PROFESI, BISA BERJALAN BERBARENGAN

Siapa tidak kenal dengan Edwin Manansang, salah satu personil Trio Libels dan seorang presenter di beberapa televisi swasta, ternyata bukan saja ahli dalam tarik suara tapi juga seorang pegawai negeri sipil di Itjen, Departemen Keuangan sebagai auditor.

Juara lomba vocal group di Stasiun Radio dan Televisi tahun 1980, menghantarkan Edwin, terjun ke dunia tarik suara. Kariernya di dunia tarik suara terus menanjak sampai ia berhasil mengeluarkan 8 album rekaman. Lagu yang menjadi favorit diantaranya adalah GADISKU dan AKU SUKA KAMU.

Di puncak kepopulerannya tahun 1987, ia pernah dua kali mewakili Indonesia dalam festival lagu Internasional di Tokyo. Lagu yang dibawakannya berjudul ”KEMBALIKAN BALIKU” karangan Guruh Soekarno Putra, dan berhasil mendapat sekaligus dua penghargaan. ”Saya bangga sekali karena tidak semua orang mendapat kesempatan seperti itu,” akunya.

Seiring dengan kariernya di dunia tarik suara, Edwin yang lulusan Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN) dan lulusan Universitas Illinois Amerika Serikat, tetap aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan saat ini ia diperbantukan di Kementrian Perekonomian.

Pria yang masih bujangan ini sudah mendekati usia 40 tahun. Namun demikian ia bersyukur sampai saat ini kedua profesi itu masih tetap berjalan, tetapi tidak seaktif waktu muda dulu. Selain sibuk di karier PNS ia juga menyempatkan diri untuk mengisi acara di salah satu televisi swasta setiap hari Sabtu dan Minggu.

Untuk menunjang kariernya sebagai PNS ia juga meningkatkan pendidikannyan dengan mengambil program Doktor spesifikasi Manajemen Keuangan di Universitas Indonesia.

(Sumber "Media Keuangan")

Thursday, March 23, 2006

Intelijen Pajak (bagian pertama)

Saatnya Dibentuk Intelijen Pajak
Oleh: Pahala Nainggolan

"Bagi aparat pajak, pemenuhan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun terasa semakin berat. Ketika RUU Pajak dinyatakan akan diusahakan business friendly, yang terjadi adalah permintaan insentif pajak dari berbagai kalangan usaha lengkap dengan berbagai argumentasinya menguat.. "

Belum lagi 'serangan' atas pasal-pasal yang dirasa otoriter, padahal pasal tersebut sudah ada sejak dahulu. Pada sisi lain, target penerimaan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Sementara itu, berbagai mass media rajin mengumandangkan keluhan kinerja aparat pajak.

Di balik keluhan para pengusaha taat pajak, berlindung para pengusaha hitam. Mereka menyanyikan koor serempak ketika menghujat kinerja aparat. Masih lagi ditambah dengan komentar para pengamat. Dengan kasus terakhir, restitusi pajak fiktif, lengkap sudah citra negatif dari aparat pajak. Citra terbangun adalah institusi yang korup.

Pada awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Ditjen Pajak, titipannya sungguh luar biasa. Tax ratio ditargetkan 19% untuk 5 tahun ke depan, padahal kini masih 13%. Sungguh tugas yang luar biasa berat.

Penerimaan yang lebih tinggi mensyaratkan perluasan wajib pajak. Secara massal diupayakan jumlah WP ber-NPWP meningkat, begitu juga pelaporannya. Reformasi pajak 2000 mewajibkan WP pribadi dengan penghasilan dari satu sumber memiliki NPWP dan melaporkan penghasilannya. Usaha ini memang meningkatkan jumlah wajib pajak yang ber-NPWP. Namun, apakah juga meningkatkan penerimaan pajak?

WP berpenghasilan dari satu sumber pajak penghasilannya sudah dipotong oleh pemberi kerja. Kepemilikan NPWP dan pelaporan SPT tidak meningkatkan penerimaan pajak negara. Jumlah pajak penghasilannya yang sudah dipotong sama besar dengan yang akan dilaporkan dalam SPT pribadinya.

Dampak dari kebijakan ini malah negatif. Beban administrasi pengelolaan laporan meningkat, karena tambahan NPWP baru dan penerimaan SPT. Bisa dibayangkan ketika suatu perusahaan memiliki 1.000 pegawai tetap yang memiliki penghasilan di atas PTKP, maka akan muncul 1.000 SPT perorangan plus SPT Perusahaan. Tanpa ada tambahan penerimaan negara.

Dampak berikutnya adalah semakin menurunnya wibawa peraturan pajak. Enforcement hampir tidak dilakukan. Daftar nama penerima penghasilan di SPT PPh Pasal 21 Badan, tidak ditindaklanjuti. Seharusnya nama-nama yang tercantum di sana 'dikejar' dan dianalisa apakah yang bersangkutan memiliki NPWP dan bila ya, apakah SPT nya sesuai dengan penghasilan dari data tersebut.

NPWP yang dikirimPendekatan massal berikutnya adalah menggapai 10 juta pemegang NPWP pada 2005. Target memang tercapai. Beberapa catatan tersisa. Pertama, upaya ini adalah implementasi dari otoritas pemberian NPWP secara jabatan. Artinya NPWP merupakan produk hukum yang mengikat wajib pajak. Sayangnya aparat pajak tidak PD (percaya diri) dengan datanya.

Di akhir surat pengantar pemberian NPWP disebutkan bila sudah memiliki NPWP silakan komplain. Klausul ini merendahkan wibawa aparat sendiri. Bagaimana tidak, mereka tidak yakin dengan produk hukum yang dikeluarkan sendiri.

Kedua, dengan jumlah pemegang NPWP yang naik drastis, tentu perlu dikaji apakah peningkatan beban administrasi setara dengan peningkatan penerimaan pajak dari mereka yang ber-NPWP baru? Kemungkinan besar mereka adalah wajib pajak berpenghasilan tunggal yang belum patuh sewaktu aturan tahun 2000 dikeluarkan karena memang tidak ada penegakan hukum. Bila benar, tentu tidak ada peningkatan penerimaan pajak.

Kemungkinan lain, terjaringnya mereka yang tadinya belum pernah melaporkan dan membayar pajak. Ketika mereka ber-NPWP maka diharapkan akan terjadi penerimaan pajak tambahan. Namun sulit dibayangkan mereka tiba-tiba akan patuh dan melaporkan seluruh penghasilannya. Mereka tentu akan menguji aparat dengan pembayaran yang jauh dibawah sebenarnya. Sehingga perlu dilanjutkan dengan enforcement peraturannya.

Intelijen Pajak (bagian kedua)

Intelijen perpajakan

Upaya-upaya yang mengambil pendekatan massal patut ditinjau efektifitasnya. Ketika wajib pajak patuh dan menyampaikan SPT, maka terjadi tambahan beban administrasi. Padahal belum tentu peningkatan penerimaan terjadi. Untuk itu pendekatan spesifik patut dipertimbangkan dengan menggunakan intelijen perpajakan.

Intelijen sebagaimana artinya adalah upaya pengumpulan informasi. Dengan demikian intelijen pajak dimaksudkan sebagai serangkaian upaya sistematis untuk mengumpulkan informasi mengenai WP baik yang sudah ber-NPWP atau belum. Informasi yang diperoleh akan disajikan kepada unit organisasi pajak lainnya untuk digunakan sebagai bahan baku analisa kewajaran pemenuhan kewajiban.

Dengan informasi yang didapat, pemberian NPWP akan selektif. Mereka yang diberikan NPWP secara jabatan sudah seharusnya membayar pajak dan belum dipotong pajaknya oleh pemberi kerja. Dua hal yang dapat dicapai sekaligus. Penerimaan pajak yang meningkat serta beban administrasi yang naik sebanding dengan kenaikan penerimaan.

Informasi intelijen pajak juga memberikan perkiraan berapa besar penghasilan dari wajib pajak. Dengan demikian ketika yang bersangkutan menyampaikan SPT, tinggal dilakukan uji kewajaran atas besaran yang dilaporkan. Ketika berbeda signfikan, maka perbedaan ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk dilakukannya pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan pajak dengan demikian bukan lagi dipandang sebagai upaya aparat untuk mencari-cari kesalahan WP.

Dengan informasi dasar pemeriksaan akan dilakukan secara selektif. Diharapkan citra pemeriksaan pajak akan meningkat karena WP akan memandang pemeriksaan pajak bukan sekedar penggunaan otoritas dari aparat saja.

Intelijen pajak juga akan meningkatkan rasa takut bagi WP yang tidak taat. Mereka tidak dapat menduga kapan pemeriksaan akan dilakukan. Yang jelas, setiap pemeriksaan aparat pasti memiliki informasi tandingan mengenai besaran penghasilannya. Para WP potensial dan WP tidak patuh akan merasa tidak nyaman. Intelijen pajak bekerja memata-matai serta mencari data sekunder tentang penghasilan nyata mereka sepanjang tahun. Mereka menggali data bahkan kalau perlu membeli dari berbagai sumber.

Intelijen Pajak (bagian tiga - terakhir)

Operasionalisasi intelijen pajak patut mempertimbangkan dua hal berikut.

Pertama, kelembagaan intelijen pajak idealnya diletakkan pada struktur yang cukup tinggi. Dengan tingkat eselon yang cukup, maka koordinasi dengan eselon dua lainnya dapat dilakukan dengan lebih mudah. Bila IRS di Amerika memiliki intelijen pajak setingkat divisi, maka sudah selayaknya dikembangkan Direktorat Intelijen Pajak dikepalai seorang direktur.

Unit ini beroperasi dengan personil yang ditempatkan hingga di tingkat KPP. Namun intel pajak bertanggungjawab langsung ke direktur intelijen . Untuk memudahkan akses serta analisa informasi. Sentralisasi pengolahan dan analisa informasi perpajakan ini akan meningkatkan kecepatan serta efisiensi kerja.

Kedua, kebijakan dalam bentuk peraturan hukum juga perlu dipersiapkan agar menjadi payung hukum yang cukup kuat bagi unit ini. Kode etik, teknis intelijen , tata kerja dan hubungan dengan instansi lain perlu diatur dalam bentuk produk hukum yang memadai. Landasan hukum ini untuk menghindari tindakan penuntutan dari WP atas bocornya data tentang yang bersangkutan. Tata kerja intelijen pajak tentu menganut pola kerja yang sama dengan institusi intelijen lainnya.

Ketiga, informasi perpajakan dapat diolah menjadi pengetahuan (knowledge) bagi setiap aparat pajak. Pelbagai kasus penggelapan dan modus operandinya dapat didokumentasikan menjadi bahan pembelajaran dalam menghadapi WP dengan karakteristik yang sama.

Dengan demikian pendekatan spesifik dapat menghasilkan keuntungan antara lain penerimaan pajak meningkat dengan beban administrasi yang sebanding. Selain itu, citra aparat pajak akan meningkat karena profesionalisme yang bertambah. Aparat pajak secara teknis paham tentang bagaimana WP 'bermain' di lapangan.

Disamping itu, ketika memutuskan perlunya pemeriksaan lapangan, aparat sudah memiliki informasi mengenai besaran penghasilan WP. Sehingga tidak terkesan pemeriksaan sebagai upaya mencari kesalahan WP agar membayar pajak lebih.

Oleh Pahala Nainggolan
Mahasiswa Program S 3 Ilmu Manajemen FE-Universitas Indonesia