Thursday, December 29, 2005
Iwa Karniwa, Kepala Dispenda Cimahi
Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, si Iwa mungkin hanya sekedar penggembira dari tim sepak bola kelasnya. Sekarang Beliau adalah Ketua Persatuan Sepakbola Cimahi (PSKC). Ketika ditanya wartawan apakah Iwa juga suka juga main bola? "Ah, main bola saya biasa saja. Ada tenaga untuk berlari, tidak ada tenaga untuk menendang bola," ujarnya sambil tertawa.
Sepertinya tidak cukup hanya ngurusin bola, Pak Iwa pun, bersemangat mengurusi angkot bodong yang beroperasi di kotanya.
Dalam beberapa kesempatan bertemu dengannya, Pak Iwa mengharapkan agar terjalin hubungan yang erat (networking) antar sesama eks mahasiswa STAN tahun masuk83.
Monday, December 19, 2005
Pajak yang Business Friendly
Pajak yang business friendly?
Salah satu konsideran dalam perubahan UU Pajak adalah investasi. Perubahan UU Pajak kali ini mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan bisnis untuk peningkatan investasi.
Kadin sebagai representasi dari dunia bisnis ternyata menolak sebagian dari pokok-pokok perubahan, di antaranya soal wewenang aparat pajak yang terlalu besar, seperti kewenangan untuk menyita rekening, ancaman pidana dan sejenisnya.
Pemerintah pada satu sisi mengklaim sudah mengorbankan potensi penerimaan pajaknya. Pemberian insentif dan penghapusan beberapa jenis pajak dinilai berpotensi menghilangkan penerimaan sebesar Rp35 triliun. Tetapi bagi Kadin hal ini masih belum cukup, belum business friendly.
Asumsi berbeda
Pemerintah berasumsi dengan serangkaian perubahan maka pajak menjadi business friendly. Untuk itu diberikan tarif lebih rendah, penghapusan pajak, insentif dan sebagainya untuk menarik investor. Asumsi ini patut dipertanyakan logika serta validitas empiriknya dengan beberapa alasan.
Pertama, secara natural pajak memang tidak akan pernah sejalan seiring dengan kepentingan dunia bisnis. Sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, tentu pajak akan menambah biaya usaha. Padahal dunia bisnis senantiasa berjalan pada hukum ekonomi. Jadi ide untuk menciptakan sistem pajak yang business friendly adalah terlalu naif.
Kedua, secara empirik penelitian-penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan investasi tidak pernah menunjukkan pajak sebagai faktor utama. Pajak bukanlah determinan yang mempengaruhi keputusan untuk berinvestasi atau tidak.
Faktor pajak di suatu negara justru merupakan faktor negatif. Artinya, bila aturan pajak memberatkan, maka investasi kemungkinan besar ditolak karena tingginya faktor ketidakpastian (uncertainty). Sebaliknya bila pajak yang berlaku di suatu negara cukup menarik, maka belum tentu investasi dilakukan.
Ketiga, ketika kuesioner dan interview dilakukan kepada para pemegang keputusan investasi tentang aspek perpajakan di dunia berkembang, bukan tarif pajak yang rendah yang menjadi perhatian. Mereka menyebutkan hal-hal yang ada pada tataran praktikal. Hal-hal yang menjadi perhatian adalah administrasi pajak yang mudah sehingga biaya transaksi pajak rendah, tingkat kepastian yang tinggi termasuk grey area yang minimal dan kecepatan proses keberatan dan restitusi.
Perbaikan RUU Pajak
Bila demikian faktanya, pengorbanan pemerintah tentu mubasir. Permintaan dunia bisnis pun tentu tidak perlu dituruti seluruhnya. Kata kunci yang harus dipegang dalam perpajakan adalah implementasi di lapangan yang business friendly, bukan peraturannya. Untuk itu, perbaikan yang perlu dilakukan adalah:
Pertama, administrasi perpajakan yang mudah termasuk substansinya. Saat ini kemudahan baru terbatas pada penyampaian dan pemrosesan laporan. Substansi masih sulit. SPT masih dianggap sebagai dokumen yang sulit untuk diisi oleh orang awam dengan benar dan lengkap.
Pemerintah wajib menyediakan panduan lewat berbagai media. Sebagai perbandingan, IRS (instansi perpajakan AS) pada 2000 menerima pertanyaan via telefon bebas pulsa, surat, kunjungan ke kantor penyuluhan dari 100 Juta wajib pajaknya yang merepresentasikan hampir dari setengah wajib pajak (berbagai jenis pajak di AS).
Kedua, administrasi lebih mudah jika tarif dan tata cara pemotongan pajak bisa sederhana. Selama ini UU yang berlaku memberikan wewenang penentuan tarif dan mekanisme pemungutan final atau tidak final kepada pemerintah. Akibatnya, terdapat puluhan jenis tarif dan masih dibedakan antara final dengan tidak final. Secara spesifik, kekusutan tarif ini terjadi pada pemotongan Pajak Penghasilan pasal 21 dan 23.
Wajib Pajak terbebani dengan keharusan memiliki pengetahuan atas berbagai jenis tarif yang berlaku dan final atau tidaknya pemotongan tadi. Karena kesalahan penerapan tarif akan berujung pada pengenaan denda. Beban wajib pajak ini dapat dihindari dengan pengenaan tarif tunggal lewat UU dan penghapusan mekanisme pajak final.
Ketiga, wewenang aparat pajak yang perlu diseimbangkan terutama dalam hal pemeriksaan pajak. Keseimbangan ini dapat dicapai antara lain dalam penyampaian alasan pemeriksaan serta proses penyampaian keberatan.
Alasan dilakukannya pemeriksaan lapangan tidak pernah diberitahukan spesifik. Padahal per definisi pemeriksaan bertujuan untuk menguji apakah wajib pajak sudah memenuhi kewajibannya dengan benar atau belum.
Pada kenyataannya, karena setiap Kantor Pajak dikenakan target penerimaan, yang kemudian dirinci hingga target penerimaan per KPP, maka pemeriksaan dipakai sebagai alat ampuh untuk pencapaian target. Bukan hal yang aneh jika wajib pajak yang sudah patuh pun diperiksa setiap tahun.
Demikian juga bukan hal yang aneh jika pemeriksaan cenderung terkesan mencari-cari kesalahan belaka. Hal ini terjadi karena penyimpangan dari tujuan pemeriksaan itu sendiri. Dari pengujian pemenuhan kewajiban dibelokkan menjadi sarana pencapaian target penerimaan per kantor.
RUU Pajak harus mengatur mengenai kriteria-kriteria untuk dapat dilakukan pemeriksaan lapangan. Dengan demikian pemeriksaan harus dimulai dari adanya bukti yang menunjukkan bahwa wajib pajak terindikasi tidak memenuhi kewajibannya.
Keberatan atas hasil pemeriksaan juga memakan waktu dan biaya serta tidak diproses oleh pihak independen. Ketika wajib pajak keberatan, maka keberatan diproses oleh KPP Unit yang berbeda dari instansi yang sama.
Dalam hal ini tentu saja independensi dari pihak yang memproses keberatan sangat lemah apalagi jika dikaitkan dengan pemenuhan target penerimaannya. Keputusan menerima atau menolak keberatan maksimal 1 tahun. Namun, keberatan tidak menghilangkan kewajiban untuk membayar nilai hasil pemeriksaan tadi. Bila ditolak, dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Juga unit dibawah instansi yang sama dengan para hakim mayoritas mantan pejabat Ditjen Pajak.
Intinya, keberatan akan diproses dalam waktu lebih dari 1 tahun, oleh personil yang tidak independen serta mengganggu cashflow. Tidak heran jika kemudian wajib pajak memilih berdamai dengan aparat pemeriksa.
RUU Pajak juga harus mereformasi proses keberatan wajib pajak. Masih mengambil contoh IRS, terdapat unit Tax Payer Advocate Service yang merupakan unit pembantu yang menyuarakan pendapat wajib pajak dalam berurusan dengan IRS.
Demikian juga soal kewajiban membayar yang jelas mengganggu kas. RUU dapat mengatur alat lain untuk menjamin penerimaan negara ketika diputuskan banding ditolak. Misalnya dengan mengatur penggunaan aset perusahaan sebagai jaminan yang senilai.
Pemahaman akan pola pikir bisnis dengan demikian penting dalam proses penyusunan RUU Pajak. Bahwa dunia bisnis cenderung menyukai hal yang pasti di masa depan, karena memudahkan perencanaan mereka. Dengan demikian, pajak yang business friendly harus diterjemahkan sebagai aturan yang implementasinya konsisten di lapangan.
Oleh Pahala Nainggolan
Alumnus Magister Manajemen FE Universitas Indonesia, kini mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen FE UI
Friday, December 02, 2005
Ganovar, SE., Ak., MM, CFE
PBM adalah singkatan dari Pengembangan Bisnis dan Manajemen, beralamat di Jalan Dewi Sartika Raya, Cililitan.
Kalau masih curious silakan kunjungi website STIE PBM.
Agung Krishartanto, CFE
Dari situs tersebut, tercantum pula daftar beberapa orang Indonesia pemegang CFE.
Yang ingin saya sampaikan melalui blog ini adalah, ternyata ada juga rekan angkatan kita pemegang CFE. Dia adalah Agung Krishartanto, CFE. Bahkan dari yang bersangkutan saya memperoleh informasi bahwa ada rekan kita yang lain yang juga mempunyai gelar ini yaitu: Ganovar, CFE dan Ernadhi Sudarmanto, CFE.
Sementara itu, Sdr Absar Jannatin di dalam milis yang saya sebutkan di atas menambahkan informasi sebagai berikut:
Kalu nggak salah nih, CFE itu singkatan dari Certified Fraud Examiner. Nah, orang Indonesia yang pertama mendapat certifikat itu adalah Fraud Afero.
Wass: [abs]
Mengenai Fraud Afero, pasti saudara kita tersebut sedang bercanda, seperti biasanya :-)
Wednesday, November 30, 2005
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 9)
Kwik Kian Gie adalah teman seperjuangan yang dekat dengan Megawati. Yang tidak dapat dimengerti oleh banyak orang adalah mengapa Kwik tidak menceriterakan yang diceriterakannya seperti yang dikutip di atas? Mengapa dia membiarkan dirinya dikepung oleh Berkeley Mafia?. Tidak ada orang yang mengetahui dengan persis.
Yang mengetahui agak banyak adalah Soetardjo Soerjoguritno. Dia pernah berceritera bahwa Kwik dan Laksamana dalam rencana tidak masuk dalam kabinet Mega, sehingga yang masuk dalam kabinet dari PDIP hanyalah Prakosa dan Jacob Nuwawea. Entah mengapa, akhirnya nama Kwik dan Laksamana tercantum juga. Tetapi kedudukan Kwik di tempat pinggiran. Ini nampaknya memang grand design dari kekuatan Berkeley Mafia. Di kalangan para diplomat memang beredar informasi bahwa Kwik mulutnya besar, tetapi tidak perlu diperhatikan sama sekali. Dia sama sekali tidak relevan. Dia dipinggirkan oleh presidennya sendiri, dan dia dipinggirkan oleh siapapun juga. Maka jangan membuang-buang waktu berbincang-bincang dengan dia. Biarkanlah berteriak-teriak. Toh tidak ada satupun yang digubris.
Obsesinya terakhir ini adalah obligasi rekap perbankan. Tidak ada yang menggubris.Tetapi dia semakin lama semakin gila, sehingga kalau begini terus dia akan terkena stroke yang buat Berkeley Mafia lebih baik lagi. Entah apa yang pernah diperbuat oleh Kwik terhadap Berkeley Mafia. Mereka sengit betul. Ketika Kwik Menko di kabinet Gus Dur, dia sudah dijepit dan dihina oleh Dewan Ekonomi Nasional yang semuanya Berkeley Mafia. Dalam kabinet Megawati waktu itu, Kwik dijepit oleh Frans Seda yang dalam PDIP mempunyai kedudukan penting karena dianggap mewakili ex Partai Katolik dalam fusi PDIP.
Tuesday, November 29, 2005
Menkeu Berjaket STAN
Jaket atau jas tersebut diperoleh Menkeu dari Direktur STAN ketika yang bersangkutan memberikan ceramah di Kampus Jurang Mangu beberapa waktu yang lalu.
Apakah Menkeu pernah menjadi mahasiswa STAN?? Tentu saja tidak. Tapi Beliau pernah memberikan kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi kepada mahasiswa STAN pada tahun 1983-84.
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 8)
Bagaimana portretnya ekonomi Indonesia sekarang ini? Kwik Kian Gie menggambarkannya sebagai bahwa: "Negara kita yang kaya akan minyak telah menjadi importir netto minyak untuk kebutuhan bangsa kita. Negara yang dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal. Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS. Hampir semua produk pertanian diimpor. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS.
Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 57 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan PPn sudah mendekat. Kebanyakan orang menganggap bahwa tidak datangnya investor asing menjadi ancaman besar. Sikap yang tidak mencerminkan pikiran yang mandiri. Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja dari para majikan asing dengan laba yang berlipat-lipat ganda dari upah atau maklon yang membuat pemilik industri perakitan dan industri penjahitan itu cukup kaya atas penderitaan kaum buruh Indonesia seperti yang dapat kita saksikan di film "New Rulers of the World" buatan John Pilger.
Pembangunan dibiayai dengan utang luar negeri melalui organisasi yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah mengemis utang dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggungan jawab tentang bagaimana dirinya mengurus Indonesia? Anehnya, setiap tahun mereka bangga kalau utang yang diperoleh bertambah. Mereka merasa bangga dapat memberikan pertanggungan jawab kepada IGGI/CGI ketimbang kepada parlemennya sendiri. Utang dipicu terus tanpa kendali sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak tahun 1999 kita sudah tidak mampu membayar cicilan pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan kembali. Hal yang sama diulangi di tahun 2000 dan 2002. Kali ini pembayaran bunganya juga sudah tidak sanggup dibayar sehingga juga harus ditunda pembayarannya. Jumlahnya ditambahkan pada utang pokok yang dengan sendirinya juga menggelembung yang mengandung kewajiban pembayaran bunga oleh pemerintah.
Bank-bank dalam negeri digerogoti oleh para pemiliknya sendiri. Bank yang kalah clearing dan harus diskors diselamatkan oleh Bank Indonesia dengan menciptakan apa yang dinamakan fasilitas diskonto. Setelah itu masih kalah clearing lagi, dan diselamatkan lagi dengan fasilitas diskonto ke II. Uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank dalam negeri dipakai sendiri oleh para pemilik bank untuk mendanai pembentukan konglomerat sambil melakukan mark up. Pelanggaran Legal Lending Limit dilanggar selama bertahun-tahun dalam jumlah yang menghancurkan banknya dengan perlindungan oleh Bank Indonesia sendiri. Maka ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di akhir tahun 1997, terkuaklah betapa bank sudah hancur lebur. Kepercayaan masyarakat menurun drastis. Rupiah melemah dari Rp. 2.400 per dollar menjadi Rp. 16.000 per dollar.
Dalam kondisi yang seperti ini Indonesia yang anggota IMF dan patuh membayar iurannya menggunakan haknya untuk minta bantuan. Kita mengetahui bahwa paket bantuan dari IMF disertai dengan conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun tidak kita perkirakan semula bahwa isinya demikian tidak masuk akal dan demikian menekan serta merugikannya. Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembagai internasional seperti CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia bersatu padu dalam sikap dan persyaratan di bawah komando IMF. IMF mensyaratkan bahwa pemerintah melaksanakan kebijakan dan program yang ditentukan olehnya, yang dituangkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih memasyarakat dengan nama Letter of Intent atau LOI. Bank Dunia setiap tahunnya juga menyusun apa yang dinamakan Country Strategy Report tentang Indonesia yang harus dilaksanakan kalau tidak mau diisolasi oleh negara-negara CGI yang sampai sekarang setiap tahun memberikan pinjaman kepada Indonesia. Justru karena jumlah utang keseluruhannya sudah melampaui batas-batas kepantasan dan prinsip kesinambungan, untuk sementara dan entah sampai kapan kita tidak dapat hidup tanpa berutang terus setiap tahunnya kalau kita tidak mau bahwa puluhan juta anak miskin kekurangan gizi dan putus sekolah.
Kalau kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy Report serta setiap keikut-sertaan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur dirisendiri." Demikian paparan Kwik.
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 7)
Tidak mampu membayar sehingga bank-bank hancur. IMFmemaksa merekap dengan obligasi pemerintah. Utang luar negeri yang tadinya ditabukan selama 32 tahun mendadak dipaksakan oleh IMF sampai mendadak sontak nilainya menjadi sama besarnya dengan jumlah utang luar negeri. Dalam kondisi seperti ini, keuangan negara hancur lebur. Anggaran negara hanya dapat dibuat kalau ada utang dari luar negeri maupun dalam negeri. Utang dalam negeri ada batasnya. Maka ketergantungan pada utang luar negeri untuk jangka waktu yang sangat panjang kedepannya akan menjadi mutlak. Kekuatan asing selalu menyediakan uangnya. Tetapi kali ini yang menyusun APBN sudah mereka setujui 100 %. Dan setiap tahun kekuatan asing memberikan utang secukupnya asalkan RI membuka pintunya untuk pertambangan dengan syarat yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Tahun berikutnya RI harus membuka jasa untuk asing, sehingga profesional asing harus boleh berpraktek di sini. Tahun berikutnya lagi pelabuhan laut, pelabuhan udara, semua industri vital harus diprivatisasi dan dibeli oleh asing. Dalam trend seperti ini, para ekonom anggota Berkeley Mafia dan para ekonom yang bangga dekat dengan orang-orang bule menyediakan diri untuk menjadi pesuruh-pesuruhnya.
Friday, November 25, 2005
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 6)
Tetapi utangnya juga meningkat terus. Investasi yang melebihi tabungan dan karena itu dibiayai oleh utang luar negeri selalu mengakibatkan defisit dari transaksi berjalan. Maka transaksi berjalan selalu defisit. Kekurangan cadangan devisa ditutup dengan masuknya modal asing. Jadi defisit dalam current account ditutup dengan masuknya modal dalam capital account. Ini boleh-boleh saja kalau mengerti batasnya, atau kalau negara stabil terus sehingga kemungkinan larinya modal asing nihil. Para teknokrat itu nampaknya tidak mengerti. Utang luar negeri setiap tahun ditambah terus. Maka kemungkinan melakukan pembayaran dari perolehan devisa dari surplus ekspor minus impor negatif.
Dengan sendirinya ukuran tentang kemampuan membayar utang luar negeri yang dinyatakan dalam perbandingan antara perolehan devisa dan pembayarannya dinyatakan dengan istilah debt service ratio. Ini adalah perbandingan antara perolehan devisa dengan yang harus dipakai untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Ukuran yang dianggap aman secara internasional adalah 20 %. Tetapi ketika angkanya sudah jauh melampui 20 %, para ekonom Berkeley Mafia itu berganti ukuran, yaitu jumlah utang luar negeri dinyatakan dalam persen dari PDB. Karuan saja terus menurun tajam. Berkeley Mafia selalu main-main dengan trik-trik yang sifatnya mengelabui rakyat. Apakah mereka sengaja jahat? Saya kira tidak. Mereka hanya bodoh saja, dan eksistensinya tergantung pada kekuatan asing yang terorganisir rapi.
Namun Berkeley Mafia dengan segala senang hati menyediakan diri. Mereka bahkan menguasai Soeharto dengan cara selalu menyuruh kekuatan asing ini yang berbicara keras dan menakut-nakuti pak Harto. Karena pak Harto dasarnya memang tidak tahu tentang ekonomi, dia nurut saja. Apalagi karena di bawah pimpinannya RI mengalami booming ekonomi yang disebut sebagai macan Asia dan keajaiban ekonomi. Sebutan ini juga diciptakan oleh kekuatan asing yang meninabobokkan Indonesia terhadap bahaya utang luar negeri. Seperti dikatakan tadi, bahayanya adalah kalau terjadi keguncangan kepercayaan, modal yang demikian besarnya ditanam di Indonesia lari mendadak. Nilai rupiah ambruk. Kredit dalam valuta asing yang juga sengaja dibuat liberal tanpa kendali banyak yang ditanam dalam saham-saham, bukan FDI. Maka larilah modal itu, ambruk nilai rupiah dan hancur berantakan perbankannya.
Kekuatan asing lihai. Memang ini yang diinginkan supaya Indonesia tidak mampu membayar utangnya, sehingga terpaksa minta penundaan pembayarannya. Penundaan pembayaran ini prosesnya sulit, yaitu melalui Paris Club. Indonesia dalam zaman reformasi saja sudah tiga kali minta pengunduran pembayaran utang karena tidak mampu. Selalu diberi, tetapi bunganya tidak boleh. Hanya dalam penjadwalan terakhir bunganyapun ditunda pembayarannya. Tetapi tidak dihapus. Bunganya menjadi tambahan dari utang pokok, sehingga utangnya menggelembung. Setelah modal luar negeri lari seperti yang digambarkan tadi, dampaknya adalah hancur leburnya nilai rupiah. Banyak utang luar negeri membengkak dalam rupiah.
Thursday, November 24, 2005
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 5)
Strategi Ekonom Berkeley
Lanjut ceritanya, setelah Soeharto mengambil kekuasaan dan kabinet terbentuk dengan menteri-menteri ekonomi yang semuanya Berkeley Mafia, mereka di tahun 1967 langsung mengadakan konferensi di Jenewa yang dipimpin oleh dua dari triumvirat Orde Baru, yaitu Sri Sultan Hamengkubowono IX dan Adam Malik. Mereka ini figur-figur politiknya, tetapi tidak mengerti apa-apa tentang ekonomi. Para teknokrat ekonominya adalah Berkeley Mafia itu. Salah seorang terpenting ketika itu adalah Moh. Sadli, karena dia menteri investasi. Di Jenewa itu mereka berunding dengan captains of industries Barat, terutama Amerika Serikat. Pimpinan mereka ketika itu adalah David Rockeffeler. Isinya adalah paket penjualan negara kepada para investor barat. Mereka dengan para akhli ekonom mereka yang mendikte secara persis apa semua yang harus dilakukan oleh Indonesia. Modalnya disediakan oleh banyak negara barat yang bergabung dalam CGGI. Sampai sekarang eksistensinya masih kokoh. Namanya yang berubah menjadi CGI.
Perlu diketahui, utang luar negeri yang diwariskan oleh Soekarno hanyalah US $ 2 milyar. Mestinya IGGI dengan sangat mudah mau menghapusnya, seperti ketika Jerman yang baru bangkit dari kehancuran seusai Perang Dunia II, misalnya, pernah memperoleh keringanan berupa penghapusan 50 persen utang luar negerinya. Yang menarik, "Model Jerman" ini yang juga diterapkan untuk membantu Indonesia lewat perundingan yang melibatkan Pemerintah RI, negara-negara kreditor dari Club of Paris, dan pencetus "Model Jerman", Josef Abs, di Paris tahun 1970.
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 4)
Sampai sekarang, tetapi terutama di dunia Barat, mereka sangat disanjung. Pada satu penerbitan, ketika pembentukan kabinet tertentu oleh Soeharto, wajah-wajah mereka dipasang di lembar cover dari majalah Time dengan judul the most qualified cabinet in the world. Cover story dari majalah Time memang tentang mereka. Diuraikan satu per satu bahwa mereka semuanya adalah Profesor Doktor. Dikatakan oleh Time tidak pernah ada dalam sejarah bahwa menteri-menteri ekonomi semuanya professor doktor.
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 3)
Ketika itu ada Fakultas Ekonomi dari Universitas Indonesia yang didirikan oleh Soemitro Djojohadikoesoemo. Dia ekonom lulusan sekolah ekonomi di Rotterdam yang di Indonesia sudah terkenal. Sebelumnya Moh. Hatta juga lulusan dari sekolah yang sama, dan ikut memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan. Soemitro yang oleh insan pers di tanah air disebut sebagai begawan ekonomi. Soemitro kemudian menduplikasi ekonom-ekonom yang baru. Yang paling menonjol adalah Widjojo Nitisastro. Dia lulusan UI dan mengambil doktornya di Amerika Serikat. Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa yang menaikkan Soeharto pada puncak kekuasaan adalah Amerika Serikat, maka segera saja pengaruh Amerika sangat kuat dalam pemerintahaan Soeharto kala itu. AS langsung memberikan segala fasilitas kepada Indonesia. Antara lain bea siswa sangat banyak buat para ekonom UI. Ketika itu kebanyakan melanjutkan studinya untuk memperoleh gelar doktor ke Universitas Berkeley. Karena mereka sudah saling kenal sejak mahasiswa tingkat pertama di UI sampai kemudian menjadi alumni Universitas Berkeley, maka akhirnya mereka sangat solid dan kompak.
Kepada kelompok ini, Soeharto memberikan kewenangan yang khusus. Mereka boleh berbuat apa saja, asalkan ekonomi maju, rakyat lebih makmur dan seterusnya. Semenjak itulah mereka dikenal dengan nama Berkeley Mafia. Mereka sangat bangga dengan sebutan Mafia. Tentunya ini yang agak aneh. Semangatnya memang semangat Mafia. Barang siapa tidak mau menurut kode etik mereka, dikucilkan, kalau perlu malah dibuang. Maka ekonom-ekonom seperti Rizal Ramli, Sritua Arif, Sarbini Somawinata dan masih banyak sekali yang jauh lebih pandai dari para ekonom Berkeley Mafia tidak pernah diberi kesempatan menduduki jabatan yang startegis dalam pemerintahan.
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 2)
Ketika Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan, fokusnya sangat berbeda dengan Bung Karno. Bung Karno sedikit sekali perhatiannya terhadap ekonomi. Bukan hanya itu, tetapi politiknyapun sangat sensasional. Amerika dan Inggris dimusuhi dengan slogan ’Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis’. Kemudian membuat konfrontasi dengan kampanye ganyang Malaysia.Terus hendak mebuat PBB sendiri yang dinamakan CONEFO atau Conference of the New Emerging Forces dan GANEFO yang dinamakan Games of New Emerging Forces yang mau menyaingi olimpiade. Rakyat terus dimobilisasi untuk mendengarkan pidatonya yang berapi-api untuk mendapat dukungan penuh. Begitu buruk keadaan perekonomian negara pada saat itu, sehingga kemakmuran dan kesejahteraan jauh dari pengharapan.
Kemudian Soeharto sebagai penggantinya memberlakukan slogan "Ekonomi Yes, Politik No." Pola pikirnya sederhana. Kalau mau membangun ekonomi harus ada dua faktor. Yang pertama adalah keamanan dan ketenangan, stabilitas sosial dan politik. Tentang stabilitas itu dia mempunyai pengalaman banyak karena dia seorang militer. Dan konsepnya juga konsep kemiliteran yang paling elementer yaitu siapa yang mengganggu keamanan dan ketenangan akan digilas habis. Dan terbukti menurut catatan sejarah orde baru, banyak orang yang diculik, dibunuh, dipenjarakan tanpa proses hukum demi stabilitas dan keamanan yang harus terpelihara. Nilai-nilai kemanusiaan, HAM, demokrasi dan sebagainya dicampakkannya. Untuk stabilitas sosial politik, urusan ini diserahkan kepada militer, sementara ekonominya diserahkan kepada yang oleh Soeharto dianggap mengerti.
Mafia Berkeley dan Kemben Tiffana Dewi (bag. 1)
Selamat menikmati dan semoga bermanfaat.
Mafia dan Godfather
Mafia awalnya dikenal berasal dari
Wednesday, November 23, 2005
Januar Budiman
Saya dan Januar tinggal dan hidup bersama selama periode waktu medio 1986 sampai dengan 1989. Pada saat itu kami bareng ngajun di Ambon yang masih manise.
Menjelang akhir 1989, kami sama-sama balik ke Jakarta karena panggilan tugas.
Tahun 1990 kami 'berpisah' karena suratan nasib yang berbeda. Setelah itu kami sangat jarang bertemu maupun berkomunikasi. Internet-lah yang akhirnya mempertemukan kami kembali.
Pak Januar, menurut pengakuannya, sekarang bekerja sebagai internal auditor di Group Artha Graha tepatnya di PT JIHD Tbk. Dalam beberapa kesempatan Pak Januar mengirim posting di milis kita. Isinya hal-hal yang ringan dan yang lucu.
Keep posting Pak !!
Tuesday, November 22, 2005
Pak Min dan Soto Sibun
Pose Pak Min bisa dinikmati di blog ini. Menurut saya wajahnya tidak berubah dibanding 20 tahun yang lalu.
Selesai minum es kelapa, saya masih lapar.
Kemudian saya pesan soto Sibun dengan nasi 1/2 porsi. Yang melayani bukan Sibun, katanya Sibun sudah pindah, berjualan di Al Azhar. Habis makan soto, saya kehausan. Terpaksa saya beli teh botol di tempat Pak Min lagi. Saya salah prosedur. Seharusnya saya makan soto dulu baru minum es kelapa. :-(
Wednesday, November 16, 2005
Passpor Gratis
Saya kemudian mendapat informasi dari teman saya, igw budis, bahwa internet menyediakan fasilitas gratis dan mudah untuk memperoleh passport. Cukup isikan data kita di situs yang beralamat di:
http://www.scrolllock.nl/passport/
Saya telah mencobanya, dan bersyukur akhirnya saya mempunyai passport dengan identitas atas nama saya, walaupun foto yang tertera sama sekali tidak mirip dengan saya :-(
salam,
arispria
Wednesday, November 09, 2005
Akhmad Syaikhu
Buat rekan-rekan yang belum mengetahui, berikut saya unduhkan berita mengenai rekan kita Akhmad Syaikhu ketika mengikuti pemilihan sebagai ketua DPRD Kabupaten Bekasi kurang lebih setahun yang lalu. Cuplikan berita adalah sebagai berikut:
Jum'at, 15 Okt 2004
Rahmat Effendi, Ketua DPRD Kota Bekasi
Reporter : yvo kotabekasi.go.id -- Kota Bekasi, 13 Oktober 2004.
Koalisi Kebangsaan, melalui wakilnya Rahmat Effendi anggota Fraksi Partai Golkar, akhirnya memenangkan kursi Ketua DPRD Kota Bekasi untuk Periode 2004-2009.
Rahmat Effendi berhasil mengalahkan lawan-lawan politiknya dalam pemilihan suara Ketua DPRD Kota Bekasi yang selesai pada pukul 19.00 WIB.
Dalam pemilihan tersebut Rahmat Effendi mengantongi 25 suara, disusul ditempat kedua Ahmad Syaikhu anggota Fraksi PKS yang mengusung Koalisi Kerakyatan dengan perolehan 18 suara.
Berita selanjutnya dapat dilihat pada situs kota bekasi.
Sumber: http://gerbang.jabar.go.id/kotabekasi
Pak Adhi Paryono
Semoga arwah Beliau diterima oleh Allah Swt sesuai dengan amal ibadahnya begitu pula ilmu yang telah diajarkan kepada kita bermanfaat.
Why does woman change?
To see the show, please click the next red text. The evolution of man and woman.
Sumber: http://celerondude.com
Tuesday, November 08, 2005
Dwi Daryoto Goes to Campus
Besides giving presentation, they also intend to give scholarships concerning their community development program. Head of Accounting Department FE GMU, Mr. Indra Wijaya Kusuma also attend the presentation and in his speech he welcomed PwC's program especially in regards to FE GMU's plan to open the International Program.
Mr. Dwi who is also a partner in PWC in his speech shares his experiences in working in a public accounting firm, especially PwC. He also said that many alumnus of FE GMU working at PwC are assigned to Houston, Melbourne, Singapore and London for their work. He stated that working in a public accounting firm is not as scary as said, especially with a good remuneration.
Sumber: Faculty of Economics, Universita Gadjah Mada
Haryanto Sahari Ceramah Akuntansi
YOGYAKARTA - Price Waterhouse Coopers/PWC (KAP Harjanto Sahari) belum lama ini memberikan ceramah umum mengenai karier di bidang akuntansi terutama akuntansi publik di Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta. Kedatangan mereka selain memberikan ceramah umum juga dimaksud untuk memberikan beasiswa terkait dengan Program Community Development dari KAP tersebut.
Dalam ceramahnya Dwi Daryoto yang merupakan partner di organisasi PWC membagi pengalaman bekerja di kantor akuntan publik, khususnya PWC. Diceritakan, banyak alumnus dari Jurusan Akuntansi UGM yang oleh PWC sekarang ditugaskan ke Houston, Melbourne, Singapura, dan London. Ditekankan bahwa bekerja di PWC tidak seseram yang dibayangkan, apalagi dengan insentif yang sangat menarik. (P12-76e)
Sumber: Suara Merdeka, Semarang
Saturday, November 05, 2005
Absar Jannatin
Sumber foto: www.kredesign.com
Pahala Nainggolan
Lae Pahala rajin menulis di media massa mengenai masalah manajemen, keuangan dan perpajakan. Miliki juga buku karya Lae (bukan promosi) mengenai perpajakan. Salah satu artikel terbarunya dimuat di Jakarta Post dengan judul Acceptable standards and procedures for tax audits.
Beliau kini sedang (telah??) menyelesaikan program doktoralnya.
Kita tunggu saja undangan selametannya ;-)
Acceptable standards and procedures for tax audits
Opinion and Editorial - November 25, 2005
Pahala Nainggolan, Jakarta
The most serious complaint from the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN) about the proposed tax law amendments is one of inequality. They feel there is a lack of equality between tax authorities and taxpayers. This conclusion comes from their daily experience in dealing with tax auditors.
Actually, this inequality problem could be solved by improving the way audits are conducted and the handling of taxpayers' complaints.
The process could start with the basics. The purpose of a tax audit is to promote the voluntary compliance of taxpayers in reporting and settling their tax obligations and to deter tax evasion. A tax audit is supposed to be conducted when tax officials find indications of a taxpayer's failure to comply.
In reality this is not the case. Tax auditors come whenever they want -- whether they have indications of non-compliance or not. Tax audits are treated as additional tools to achieve the tax revenue target. This causes tax auditors to focus on how to increase payments rather than to check compliance.
Tax audits are clearly a tax transaction cost. A company must assign its staff time to prepare documents, answer auditors' questions, analyze the findings and so on. In addition to time spent, there are also documents to be copied, reconciled etc.
After the tax auditor's findings are communicated some money must be paid as mentioned in the report. In the case of unfair tax treatment, taxpayers can object to the auditor's findings by going into the regional tax office or to the tax court.
The current mechanism for objection against the tax assessment letter is where the inequality happens.
First, a taxpayer must pay that amount even though they object to the amount. The notice of objection will be processed, but the amount must be deposited first. This can really cause a cash flow problem for taxpayers.
Smart tax auditors know that time is money.They could exaggerate their reports, forcing taxpayers to pay the amount even though they are quite sure the assessment is incorrect.
Second, the objection process takes more than one year. The objection will be processed by the local tax office within a minimum of 12 months after a notice of objection is received.
But usually the taxpayer is asked to respond only as the deadline approaches. If the taxpayer objects to the decision, an appeal could be filed with the tax court, which would take another year to process. So, a final resolution would be reached after two years.
Again, smart tax auditors understand this situation. The objection process will only add to the taxpayer's costs as they need to provide additional documents etc.
Hence, the temptation is great for collusion between taxpayers and tax auditors to reduce the costs at the expense of state revenues.
The third issue at stake is the independency of the people who process the notice of objection. At first, the objection will be processed by different units of an organization, though still under the Directorate General of Taxation. At this stage there are numerous problems. Esprit de corps, their solidarity with their colleagues (tax auditors), of course will be maintained. Then, they have to achieve the tax revenue target. Accepting a taxpayer's objection means they may not reach the target.
Appeals to the tax court more or less follow the same course. Most of the judges are former tax officials or employees of the ministry of finance. Theoretically, the interests of the two parties are rarely voiced equally.
Realizing that the objection process is a long and winding road, it is no wonder that some businesspeople or taxpayers choose the easiest and probably the cheapest way in dealing with tax audits, thus leading to corruption in the taxation system.
Those who are patient, have the finances at their disposal and are certain of winning the case will go to the tax court. But the remainder who have a limited cash flow, will choose the easiest way out.
Tax audits are a must. This is one way to ensure the compliance of taxpayers. But this does not mean taxpayers' burden should be increased. Moreover, tax corruption must be avoided.
To achieve these objectives, there are several alternative solutions.
First, while the objection is being processed, the tax amount due should not be settled in cash but be guaranteed with collateral using the assets of the taxpayer. This ensures that the tax office will be able to get the payment immediately in case the final decision is in favor of the tax auditors. By allowing non-cash payment, taxpayers will face no cash flow problems.
Second, from the outset, the processing of taxpayers' objections must involve independent parties who would voice and act on taxpayer's interests. A model such as the Taxpayer Advocate Service of the IRS could be used.
Third, the processing of notices of objection must be shortened to three months. This would show a commitment from the tax office to serve taxpayers as their main customers. Why is it that a tax audit takes only about two months to complete, while an objection to its findings takes 12 months to process, with no fieldwork needed? As the process requires only the collection of additional data and some further analysis, it should not be longer than the auditing work itself.
The writer, formerly a tax auditor, is a doctoral student of management science at the University of Indonesia's school of economics. He can be reached at pahala@tifafoundation.org.
Sumber Photo: www.tifafoundation.org; www.kompas.com/gramedia
Sumber: www.thejakartapost.com
Edwin Manangsang
Sumber Foto: www.kompas.com
Monday, October 31, 2005
Slankers Purnawarman
Himawan, Budi Pribadi, Saladin, Firmanudin, Anton, Yudis, Adi Kum-Kum, dua lagi siapa ya?
Sumber: Koleksi Pribadi Himawan