Rekan kita Pahala Nainggolan untuk kesekian kalinya menulis artikel mengenai perpajakan. Kali ini pemikirannya bisa kita baca di Harian Bisnis Indonesia edisi Senin 19 Desember 2005 sebagai berikut:
Pajak yang business friendly?
Salah satu konsideran dalam perubahan UU Pajak adalah investasi. Perubahan UU Pajak kali ini mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan bisnis untuk peningkatan investasi.
Kadin sebagai representasi dari dunia bisnis ternyata menolak sebagian dari pokok-pokok perubahan, di antaranya soal wewenang aparat pajak yang terlalu besar, seperti kewenangan untuk menyita rekening, ancaman pidana dan sejenisnya.
Pemerintah pada satu sisi mengklaim sudah mengorbankan potensi penerimaan pajaknya. Pemberian insentif dan penghapusan beberapa jenis pajak dinilai berpotensi menghilangkan penerimaan sebesar Rp35 triliun. Tetapi bagi Kadin hal ini masih belum cukup, belum business friendly.
Asumsi berbeda
Pemerintah berasumsi dengan serangkaian perubahan maka pajak menjadi business friendly. Untuk itu diberikan tarif lebih rendah, penghapusan pajak, insentif dan sebagainya untuk menarik investor. Asumsi ini patut dipertanyakan logika serta validitas empiriknya dengan beberapa alasan.
Pertama, secara natural pajak memang tidak akan pernah sejalan seiring dengan kepentingan dunia bisnis. Sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, tentu pajak akan menambah biaya usaha. Padahal dunia bisnis senantiasa berjalan pada hukum ekonomi. Jadi ide untuk menciptakan sistem pajak yang business friendly adalah terlalu naif.
Kedua, secara empirik penelitian-penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan investasi tidak pernah menunjukkan pajak sebagai faktor utama. Pajak bukanlah determinan yang mempengaruhi keputusan untuk berinvestasi atau tidak.
Faktor pajak di suatu negara justru merupakan faktor negatif. Artinya, bila aturan pajak memberatkan, maka investasi kemungkinan besar ditolak karena tingginya faktor ketidakpastian (uncertainty). Sebaliknya bila pajak yang berlaku di suatu negara cukup menarik, maka belum tentu investasi dilakukan.
Ketiga, ketika kuesioner dan interview dilakukan kepada para pemegang keputusan investasi tentang aspek perpajakan di dunia berkembang, bukan tarif pajak yang rendah yang menjadi perhatian. Mereka menyebutkan hal-hal yang ada pada tataran praktikal. Hal-hal yang menjadi perhatian adalah administrasi pajak yang mudah sehingga biaya transaksi pajak rendah, tingkat kepastian yang tinggi termasuk grey area yang minimal dan kecepatan proses keberatan dan restitusi.
Perbaikan RUU Pajak
Bila demikian faktanya, pengorbanan pemerintah tentu mubasir. Permintaan dunia bisnis pun tentu tidak perlu dituruti seluruhnya. Kata kunci yang harus dipegang dalam perpajakan adalah implementasi di lapangan yang business friendly, bukan peraturannya. Untuk itu, perbaikan yang perlu dilakukan adalah:
Pertama, administrasi perpajakan yang mudah termasuk substansinya. Saat ini kemudahan baru terbatas pada penyampaian dan pemrosesan laporan. Substansi masih sulit. SPT masih dianggap sebagai dokumen yang sulit untuk diisi oleh orang awam dengan benar dan lengkap.
Pemerintah wajib menyediakan panduan lewat berbagai media. Sebagai perbandingan, IRS (instansi perpajakan AS) pada 2000 menerima pertanyaan via telefon bebas pulsa, surat, kunjungan ke kantor penyuluhan dari 100 Juta wajib pajaknya yang merepresentasikan hampir dari setengah wajib pajak (berbagai jenis pajak di AS).
Kedua, administrasi lebih mudah jika tarif dan tata cara pemotongan pajak bisa sederhana. Selama ini UU yang berlaku memberikan wewenang penentuan tarif dan mekanisme pemungutan final atau tidak final kepada pemerintah. Akibatnya, terdapat puluhan jenis tarif dan masih dibedakan antara final dengan tidak final. Secara spesifik, kekusutan tarif ini terjadi pada pemotongan Pajak Penghasilan pasal 21 dan 23.
Wajib Pajak terbebani dengan keharusan memiliki pengetahuan atas berbagai jenis tarif yang berlaku dan final atau tidaknya pemotongan tadi. Karena kesalahan penerapan tarif akan berujung pada pengenaan denda. Beban wajib pajak ini dapat dihindari dengan pengenaan tarif tunggal lewat UU dan penghapusan mekanisme pajak final.
Ketiga, wewenang aparat pajak yang perlu diseimbangkan terutama dalam hal pemeriksaan pajak. Keseimbangan ini dapat dicapai antara lain dalam penyampaian alasan pemeriksaan serta proses penyampaian keberatan.
Alasan dilakukannya pemeriksaan lapangan tidak pernah diberitahukan spesifik. Padahal per definisi pemeriksaan bertujuan untuk menguji apakah wajib pajak sudah memenuhi kewajibannya dengan benar atau belum.
Pada kenyataannya, karena setiap Kantor Pajak dikenakan target penerimaan, yang kemudian dirinci hingga target penerimaan per KPP, maka pemeriksaan dipakai sebagai alat ampuh untuk pencapaian target. Bukan hal yang aneh jika wajib pajak yang sudah patuh pun diperiksa setiap tahun.
Demikian juga bukan hal yang aneh jika pemeriksaan cenderung terkesan mencari-cari kesalahan belaka. Hal ini terjadi karena penyimpangan dari tujuan pemeriksaan itu sendiri. Dari pengujian pemenuhan kewajiban dibelokkan menjadi sarana pencapaian target penerimaan per kantor.
RUU Pajak harus mengatur mengenai kriteria-kriteria untuk dapat dilakukan pemeriksaan lapangan. Dengan demikian pemeriksaan harus dimulai dari adanya bukti yang menunjukkan bahwa wajib pajak terindikasi tidak memenuhi kewajibannya.
Keberatan atas hasil pemeriksaan juga memakan waktu dan biaya serta tidak diproses oleh pihak independen. Ketika wajib pajak keberatan, maka keberatan diproses oleh KPP Unit yang berbeda dari instansi yang sama.
Dalam hal ini tentu saja independensi dari pihak yang memproses keberatan sangat lemah apalagi jika dikaitkan dengan pemenuhan target penerimaannya. Keputusan menerima atau menolak keberatan maksimal 1 tahun. Namun, keberatan tidak menghilangkan kewajiban untuk membayar nilai hasil pemeriksaan tadi. Bila ditolak, dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Juga unit dibawah instansi yang sama dengan para hakim mayoritas mantan pejabat Ditjen Pajak.
Intinya, keberatan akan diproses dalam waktu lebih dari 1 tahun, oleh personil yang tidak independen serta mengganggu cashflow. Tidak heran jika kemudian wajib pajak memilih berdamai dengan aparat pemeriksa.
RUU Pajak juga harus mereformasi proses keberatan wajib pajak. Masih mengambil contoh IRS, terdapat unit Tax Payer Advocate Service yang merupakan unit pembantu yang menyuarakan pendapat wajib pajak dalam berurusan dengan IRS.
Demikian juga soal kewajiban membayar yang jelas mengganggu kas. RUU dapat mengatur alat lain untuk menjamin penerimaan negara ketika diputuskan banding ditolak. Misalnya dengan mengatur penggunaan aset perusahaan sebagai jaminan yang senilai.
Pemahaman akan pola pikir bisnis dengan demikian penting dalam proses penyusunan RUU Pajak. Bahwa dunia bisnis cenderung menyukai hal yang pasti di masa depan, karena memudahkan perencanaan mereka. Dengan demikian, pajak yang business friendly harus diterjemahkan sebagai aturan yang implementasinya konsisten di lapangan.
Oleh Pahala Nainggolan
Alumnus Magister Manajemen FE Universitas Indonesia, kini mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen FE UI
Monday, December 19, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Pak Pahala, artikel ini dimuat juga di Suara Pembaruan ya Pak?
Post a Comment